Setiap akhir tahun ajaran, para guru dihadapkan pada rutinitas yang hampir serupa: menilai siswa. Deretan angka mulai mengisi rapor, seolah menjadi cermin keberhasilan seorang anak dalam belajar selama satu tahun penuh. Namun, pernahkah kita bertanya: apakah nilai siswa hanya sebatas angka yang berjejer di atas kertas?
Kini, Penilaian Sumatif Akhir Tahun (PSAT) telah usai. Para guru bekerja keras menyusun nilai, seringkali menyesuaikan dengan standar yang ditentukan. Namun, ada kenyataan lain yang tak bisa diabaikan: hadirnya “siswa siluman” — mereka yang nyaris tak pernah terlihat selama proses belajar, tapi tiba-tiba muncul saat ujian, dan "harus naik kelas".
Fenomena ini bukan hal baru, tapi cukup membuat hati miris. Mengapa? Karena dalam sistem seperti ini, siswa yang rajin dan aktif tidak berbeda jauh nilainya dengan mereka yang nyaris tak terlibat dalam pembelajaran. Sekolah kemudian hanya menjadi formalitas — tempat untuk mendapatkan selembar sertifikat kelulusan, bukan tempat tumbuhnya karakter dan pengalaman hidup yang berharga.
Sebagai guru, kita sering kali terjebak dalam sistem yang menuntut kita untuk “menyeragamkan” nilai. Kita menjadi bagian dari mesin yang mengeluarkan angka-angka, bukan makna. Padahal, kita tahu bahwa pendidikan sejatinya bukan sekadar hasil akhir, melainkan proses.
George Washington Carver pernah berkata:
"Pendidikan adalah proses menanamkan nilai-nilai kehidupan."
Kalimat ini sederhana, tapi mengandung makna mendalam. Nilai sejati dalam pendidikan bukanlah deretan angka, melainkan proses yang penuh makna — pembelajaran yang menanamkan tanggung jawab, empati, kerja keras, dan kejujuran. Nilai-nilai inilah yang akan menjadi bekal siswa menghadapi kehidupan nyata.
Sungguh, nilai yang paling berkesan bagi siswa bukanlah angka di rapor, melainkan kenangan akan seorang guru yang mengajarkan mereka dengan cinta, yang hadir saat mereka kesulitan, dan yang percaya pada potensi mereka bahkan ketika mereka sendiri belum mampu melihatnya.
Karena itu, mari kita hadir sebagai guru yang tidak sekadar mengajar, tapi juga menginspirasi. Guru yang menanamkan harapan, bukan hanya pelajaran. Guru yang memfasilitasi tumbuhnya manusia seutuhnya, bukan sekadar pengumpul nilai untuk sistem.
Pendidikan harus kembali kepada esensinya. Mari kita renungkan kembali setiap angka yang kita tulis di rapor — apakah itu benar-benar mencerminkan pertumbuhan siswa? Apakah itu menjadi "nilai" dalam hidup mereka, atau hanya formalitas belaka?
Semoga kita semua, para pendidik, tak lelah untuk memperjuangkan makna sejati dari pendidikan. Bukan untuk sistem, tapi untuk anak-anak kita. Karena mereka layak mendapatkan nilai yang sesungguhnya — nilai yang membekas di hati, bukan hanya di atas kertas.
Social Media